Keberadaan Kota Yogyakarta tidak dapat terlepas dari berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 13 Februari 1755 bertepatan dengan terlaksananya Perjanjian Giyanti yang menandai terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, meskipun Kasultanan Yogyakarta secara de jure telah ada sejak tahun 1755, namun keberadaan Kota Yogyakarta sebagai ibukota Kasultanan Yogyakarta baru ada pada tanggl 7 Oktober 1756 (berdasarkan sengkalan memet Dwi Naga Rasa Tunggal). Hal ini merupakan pertanda mulai ditempatinya Kraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Sultan HB I dimana sebelumnya beliau memerintah dari Pesanggrahan Ambarketawang pada saat Kraton Yogyakarta dibangun. Pemerintah Kota Yogyakarta telah menerbitkan buku tentang Hari Jadi Kota Yogyakarta yang menjelaskan segala sesuatu tentang keberadaan awal Kota Yogyakarta sebagai ibukota Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari disepakati pada 13 Pebruari 1755. Sehari sesudahnya Pangeran Mangkubumi resmi bergelar ” Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Ngayogyakarta Hadingrat Ingkang Jumeneng Kaping Sepisan” ( Sri Sultan Hamengku Buwana I ).
Selama menunggui pembangunan fisik Kraton Sri Sultan Hamengku Buwana I bertempat tinggal sementara ( mesanggrah ) di pesanggrahan Garjitowati, Ambar Ketawang. Pada hari kamis Pahing, 13 Syura-Jimakir 1682 Tahun Jawa atau 7 Oktober 1756 M, Sri Sultan Hamengku Buwana I mulai menempati Kraton yang baru. Sejak saat itulah kehidupan sebuah kota mulai bertumbuh.
Nama Ngayogyakarta atau Yogyakarta sendiri diambil dari kata Ayodya, nama kerajaan Prabu Sri Rama dalam babad Ramayana. Tanggal 7 Oktober 1756 selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 6 Tahun 2004.
===========================================================oOo=========================================================
Kedaulatan Rakyat 4 Mei 2008
Nama kota Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari sejarah alas Paberingan yang pertama kali dimanfaatkan oleh Panembahan Hanyakrawati (RM Jolang) raja kedua Mataram II (1601-1613) yang menggantikan Panembahan Senopati Ing Ngalaga (1586-1601) dan kemudian menjadi kawasan yang selalu terpilih dan muncul melalui wisik yang diterima oleh beberapa raja-raja Mataram berikutnya.
Kata Yogyakarta sendiri merupakan pergeseran lafal (pengucapan) dari kata bahasa Jawa Ngayogyakarta, bentukan dari dua kata ngayogya dan karta. Kata ngayogya dari kata dasar yogya artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan karta artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya).
Nama tersebut bukan diciptakan oleh pendiri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), tetapi telah dicita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya oleh paman buyutnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke-2 Keraton Kartasura.
Situs pusat keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita saksikan sisa-sisa bangunan terbuat dari bata dan nama-nama kawasan yang hingga kini tetap digunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong Tengen, bekas Pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gede), Kompleks Makam Senopaten dan sebagainya yang tersebar sejak 1 kilometer sebelah utara hingga selatan Kota Gede.
Dan alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah dibangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak) untuk perburuan kijang, dinamakan alas Krapyak. Di situ pula Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, dibunuh oleh pejabat istananya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Atas peristiwa itulah Hanyakrawati dikenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Konon menjelang akhir pemerintahan Sunan Amangkurat I -Tegal Arum (1646-1677) mendapat wisik bahwa alas Paberingan kejatuhan wahyu keraton. Sehingga ia bermaksud memindahkan keraton Ngeksigondo ke hutan tersebut, telah dimulai dengan membangun betengnya. Calon keraton itu akan dinamakan Garjitawati yang berarti osiking raos ingkang sejatos (kata hati yang murni).
Rencana itu tidak berlanjut sebab Keraton Mataram keburu direbut Pemberontak Trunojoyo yang didukung rakyat, menentang Amangkurat I yang mengakui kedaulatan Kumpeni dan bertindak kejam membantai 6.000 Santri Giri dan juga kerabat dekatnya sendiri. Dengan bantuan pasukan Banyumas dan Bagelen/Kebumen pemberontakan Trunojoyo dapat ditumpas dan Amangkurat Jawa (P Anom Amral) bertahta bergelar Amangkurat II-Amral (1677-1678). Kotaraja yang rusak dipindah ke Kreta (yang artinya aman, sejahtera).
Pada tahun 1703 Amangkurat III-Sunan Mas memindahkan Kotaraja ke Kartasura (1703-1704). Pada masa pemerintahannya Sunan Paku Buwana I (P Puger, 1704-1719) bermaksud melanjutkan cita-cita Amangkurat I membangun kembali calon kraton Garjitawati dan akan dinamakannya Ngayogyakarta.
Namun sebelum niat itu terlaksana, PB I keburu wafat, digantikan Amangkurat IV (1719-1727). Penggantinya, Paku Buwana II memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta (1745-1749) setelah Pemberontakan Pacina ditumpas Kawasan alas Paberingan dibangun menjadi Kadipaten Mataram di bawah T Jayawinata. Pada tahun 1746 P Mangkubumi diberi mandat PB II untuk meneruskan keberadaan keraton Jawa sebab Surakarta akan menjadi milik Kumpeni sesuai Perjanjian Panaraga.
Pada tahun ketiga Pemberontakan Mangkubumen, dalam suatu pertempuran melawan pasukan gabungan Surakarta-Kumpeni, P Mangkubumi terdesak hingga lereng Gunung Merapi, namun atas kegigihan senapati andalannya, T Rangga Wirasetika, akhirnya dapat merebut Kadipaten Mataram. T Jayawinata takluk dan menjadi pengikutnya. P Mangkubumi tinggal beberapa lama di Kadipaten itu, dan ketika diserang oleh pasukan Surakarta-Kumpeni, sebelum meninggalkan Mataram seluruh kadipaten seisinya dihan-curkan terlebih dahulu agar tidak dimanfaatkan oleh kekuasaan Surakarta-Kumpeni Cita-cita Paku Buwana I itu akhirnya bisa diwujudkan oleh P Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) pada tahun 1756, setahun setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani (1755).
Alas Paberingan dibangun secara bertahap menjadi kompleks keraton dan dinamakannya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan segala taman-tamannya seperti Taman Sari, Kali Larangan untuk mengisi Segaran dengan Pulau Kenanga di tengahnya yang dinamakan Yasa Kambang, dan Panggung Krayak di luar benteng keraton seperti yang kita saksikan sekarang. Arsitek yang ditugasi membangun adalah T Mangundipura.
===========================================================oOo=========================================================
Kakekku pernah bercerita, bahwa nama kota Yogyakarta yang asli berasal dari kata Sangsekrit “A-yodya-karta”, yang artinya kota kemenangan yang makmur (a=tidak, yodya=kalah, karta=makmur; a-yodya-karta = tidak terkalahkan lagi makmur). Dikatakannya pula, kata A-yodya ini semula merujuk pada nama ibu kota Kerajaan Prabu Sri Rama dalam lakon Ramayana.
Bahwa (masih menurut kakekku) istilah a-yodya-karta kemudian terpeleset menjadi Nga-Yogyakarta, dikarenakan orang Jawa tidak bisa (sulit) mengucapkan huruf A yang ada didepan sebuah kalimat. Maka, huruf A itu berubah menjadi Nga. Maka A-Yodya-Karta dilafalkan menjadi Nga-Yugyo-Karto.
Dan masih menurut kakekku: Kemudian datanglah orang Belanda yang tidak bisa (sulit) mengucapkan kata/lafal Nga, maka demi mudahnya pengucapan, orang Belanda menghilangkan lafal Nga itu. Maka para Belanda menyebut Nga-yugyo-karto menjadi Jogyakarta atau Yogyakarta. Yang tentu artinya menjadi “Kota yang kalah, meskipun makmur” (karena kata/lafal Nga sudah dihilangkan).
Hingga sampai ke masa kini (tutur Kakekku yang pernah jadi Anggota Dewan Kota Yogyakarta ini) kota ini resminya bernama Kota Yogyakarta (orang luar Yogya menyebutnya Jogyakarta), yang artinya seperti di atas tadi, yakni: Kota yang kalah, walaupun (mungkin) makmur.
Kakekku bukan pujangga, bukan pula ahli bahasa Jawa. Mungkin Beliau cuma mengarang saat mendongeng kepadaku, tentang asal-usul nama Kota Kecintaan Beliau ini.