Sabtu, 06 Agustus 2011

Asal Mula Candi Borobudur


Asal Mula Candi Borobudur

PENDAHULUAN
A. Alasan Memilih Judul
Yang menjadi alasan memilih judul dalam karya tulis yang berjudul “ Candi Borobudur “ ini adalah sebagai berikut:
1. Kita sebagai siswa yang masih banyak memerlukan pengetahuan yang perlu di ketahui
2. Sebagai siswa Supaya dapat menggali ilmu Pengetahuan lebih dalam dan mengembangkannya
3. Sebagai siswa tertarik kepada keindahan dan seni budaya bangunan Candi Borobudur
4. Untuk m3engetahui lebih lanjut tentang sejarah berdirinya Candi Borobudur
B. Batasan Masalah
Agar pembahasan sesuai dengan yang di inginkan penulis dapat tercapai dengan tepat dan benar maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah Candi Borobudur?
2. Apakah Arti Borobudur?
3. Benda – Benda Apa Saja Yang Ada Di Candi Borobudur?
4. Bagaimana Peranan Candi Borobudur Bagi Obyek Wisata?
C. Tujuan Yang Ingin Di Capai
Dengan di buatnya karya tulis ini, penulis mempunyai tujuan pokok yang ingin di capai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menghayati sejarah berdirinya Candi Borobudur
2. Sebagai siswa harus tahu latar belakang di dirikannya Candi Borobudur
3. Untuk mengetahui makna dan arti yang terkandung dalam komplek bangunan Candi Borobudur
4. Mengetahui peranan Candi Borobudur sebagai objek Wisata
D. Sumber – Sumber Yang Di Gunakan
Sumber – Sumber bahasan yang di gunakan untuk pembuatan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Deskriptif: yaitu Metode yang menggambarkan masalah yang ada pada masa sekarang
2. Metode Biografi: Yaitu metode dengan cara meneliti batu – batu majalah dan media lainya
3. Metode Observasi: yaitu penulis terjun langsung ke lapangan untuk penelitian agar mudah mendapat data – data
4. Dan informasi dari beberapa tokoh masyarakat di sekitar Candi Borobudur
BAB II
LATARBELAKANG CANDI BOROBUDUR
A. Waktu Di Dirikan
Banyak buku – buku sejarah yang menuliskan tentang Candi Borobudur akan tetapi kapan Candi Borobudur itu di dirikan tidaklah dapat di ketahui secara pasti namun suatu perkiraan dapat di peroleh dengan tulisan singkat yang di pahatkan di atas pigura relief kaki asli Candi Borobudur ( Karwa Wibhangga ) menunjukan huruf sejenis dengan yang di dapatkan dari prasati di akhir abad ke – 8 sampai awal abad ke – 9 dari bukti – bukti tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Candi Borobudur di dirikan sekitar tahun 800 M.
Kesimpulan tersebut di atas itu ternyata sesuai benar dengan dengan kerangka sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sejrah yang berada di daerah jawa tengah paa khususnya periode antara abad ke – 8 dan pertengahan abad ke – 9 di terkenal dengan abad Emas Wangsa Syailendra kejayaan ini di tandai di bangunnya sejumlah besar candi yang di lereng – lereng gunung kebanyakan berdiri khas bangunan hindu sedangkan yang bertebaran di dataran – dataran adaaalah khas bangunan Budha tapi ada juga sebagian khas Hindu
Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa Candi Borobudur di bangun oleh wangsa Syailendra yang terkenal dalam sejarah karena karena usaha untuk menjungjung tinggi dan mengagungkan agama Budha Mahayana.
B. Penemuan Kembali
Borobudue yang menjadi keajaiban dunia menjulang tinggidi antara dataran rendah di sekelilingnya
Tidak akan pernah mamasuk akal mereka melihat karya seni terbesar yang merupakan hasil karya sangat mengagumkan dan tidak lebih masuk akal lagi bila di katakan Candi Borobudur pernah mengalami kerusakan
Memang demikian keadaannya Candi Borobudur terlupakan selama tenggang waktu yang cukup lama bahkan sampai berabad – abad bangunan yang begitu megahnya di hadapkan pada proses kehancuran. Kira – kira hanya 150 tahun Candi Borobudur di gunakan sebagai pusat Ziarah, waktu yang singkat di bandingkan dengan usianya ketika pekerja menghiasi / membangun bukit alam Candi Borobudur dengan batu – batu di bawah pemerintahan yang sangat terkenal yaitu SAMARATUNGGA, sekitar tahun 800 – an dengan berakhirnya kerajaan Mataram tahu 930 M pusat kehidupan dan kebudayaan jawa bergeser ke timur
Demikian karena terbengkalai tak terurus maka lama – lama di sana – sini tumbuh macam – macam tumbuhan liar yang lama kelamaan menjadi rimbun dan menutupi bangunannya. Pada kira – kira abad ke – 10 Candi Borobudur terbengkalai dan terlupakan.
Baru pada tahun 1814 M berkat usaha Sir Thomas Stamford Rafles Candi Borobudur muncul dari kegelapan masa silam. Rafles adalah Letnan Gubernur Jendral Inggris, ketika Indonesia di kuasai / di jajah Inggris pada tahun 1811 M – 1816 M.
Pada tahun 1835 M seluruh candi di bebaskan dari apa yang menjadi penghalang pemandangan oleh Presiden kedua yang bernama Hartman, karen begitu tertariknya terhadap Candi Borobudur sehingga ia mengusahakan pembersihan lebih lanjut, puing –puing yang masih menutupi candi di sigkirkan dan tanah yang menutupi lorong – lorong dari bangunan candi di singkirkan semua shingga candi lebih baik di bandingkan sebelumnya.
C. Penyelamatan I
Semenjak Candi Borobudur di temukan dimulailah usaha perbaikan dan pemugaran kembali bangunan Candi Borobudur mula – mula hanya dilakukan secara kecil – kecilan serta pembuatan gambar – gambar dan photo – photo reliefnya. Pemugaran Candi Borobudur yang pertam kali di adakan pada tahun 1907 M – 1911 M di bawah pimpinan Th Van erf dengan maksudnya adalah untuk menghindari kerusakan – kerusakan yang lebih besar lagi dari bangunan Candi Borobudur walaupun banyak bagian tembok atau dinding – dinding terutam tingkat tiga dari bawah sebelah Barat Laut, Utara dan Timur Laut yang masih tampak miring dan sangat mengkhawatirkan bagi para pengunjungmaupun bangunannya sendiri namun pekerjaan Van Erp tersebut untuk sementara Candi Borobudur dapat dsi selamatkan dari kerusakan yang lebih besar.
Mengenai gapura – gapura hanya beberapa saja yang telah di kerjakan masa itu telah mengembalikan kejayaan masa silam, namun juga perlu di sadari bahwa tahun – tahun yang di lalui borobudur selama tersembunyi di semak – semak secara tidak langsung telah menutupi adan melindungi dari cuaca buruk yang mungkin dapat merusak bangunan Candi Borobudur, Van Erp berpendapat miring dan meleseknya dinding – dinding dari bangunan itu tidak sangat membahayakan bangunan itu, Pendapat itu sampai 50 tahun kemudian memang tidak salah akan tetapi sejak tahun 1960 M pendapat Tn Vanerf itu mulai di ragukan dan di khawatirkan akan ada kerusakan yang lebih parah
D. Pemugaran Candi Borobudur
Pemugaran Candi Borobudur di mulai tanggal 10 Agustus 1973 prasati dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur terletak di sebelah Barat Laut Menghadap ke timur karyawan pemugaran tidak kurang dari 600 orang diantaranya ada tenaga – tenaga muda lulusan SMA dan SIM bangunan yang memang diberikan pendidikan khususnya mengenai teori dan praktek dalam bidang Chemika Arkeologi ( CA ) dan Teknologi Arkeologi ( TA )
Teknologi Arkeologi bertugas membongkar dan memasang batu - batu Candi Borobudur sedangkan Chemika Arkeologi bertugas membersihkan serta memperbaiki batu – batu yang sudah retak dan pecah, pekerjaan – pekerjan di atas bersifat arkeologi semua di tangani oleh badan pemugaran Candi Borobudur, sedangkan pekerjaan yang bersifat teknis seperti penyediaan transportasi pengadaaan bahan – bahan bangunan di tangani oleh kontraktor ( PT NIDYA KARYA dan THE CONTRUCTION AND DEVELOPMENT CORPORATION OF THE FILIPINE ).
Bagian – bagian Candi Borobudur yang di pugar ialah bagian Rupadhatu yaitu tempat tingkat dari bawah yang berbentuk bujur sangkar sedangkan kaki Candi Borobudur serta teras I, II, III dan stupa induk ikut di pugar pemugaran selesai pada tanggal 23 Februari 1983 M di bawah pimpinan DR Soekmono dengan di tandai sebuah batu prasati seberat + 20 Ton.
Prasasti peresmian selesainya pemugaran berada di halaman barat dengan batu yang sangat besar di buatkan dengan dua bagian satu menghadap ke utara satu lagi menghadap ke timur penulisan dalam prasasti tersebut di tangani langsung oleh tenaga yang ahli dan terampil dari Yogyakarta yang bekerja pada proyek pemugaran Candi Borobudur.
E. Bangunan Candi Borobudur
a. Uraian Banguan Candi Borobudur
Candi Borobudur di bangun mengunakan batu Adhesit sebanyak 55.000 M3 bangunan Candi Borobudur berbentuk limas yang berundak – undak dengan tangga naik pada ke – 4 sisinya ( Utara, selatan, Timur Dan Barat ) pada Candi Borobudur tidak ada ruangan di mana orang tak bisa masuk melainkan bisa naik ke atas saja.
Lebar bangunan Candi Borobudur 123 M
Panjang bangunan Candi Borobudur 123 M
Pada sudut yang membelok 113 M
Dan tinggi bangunan Candi Borobudur 30.5 M
Pada kaki yang asli di di tutup oleh batu Adhesit sebanyak 12.750 M3 sebagai selasar undaknya.
Candi Borobudur merupakan tiruan dari kehidupan pada alam semesta yang terbagi ke dalam tiga bagian besar di antaranya :
1. Kamadhatu: Sama dengan alam bawah atau dunia hasrat dalam dunia ini manusia terikat pada hasrat bahkan di kusai oleh hasrat kemauan dan hawa nafsu, Relief – relief ini terdapat pada bagian kaki candi asli yang menggambarkan adegan – adegan Karmawibangga ialah yang melukiskan hukum sebab akibat.
2. Rupadhatu: Sama dengan alam semesta antara dunia rupa dalam hal manusia telah meninggalkan segala urusan keduniawian dan meninggalkan hasrat dan kemauan bagian ini terdapat pada lorong satu sampai lorong empat
3. Arupadhatu: Sama dengan alam atas atau dunia tanpa rupa yaitu tempat para dewa bagian ini terdapat pada teras bundar ingkat I, II, dan III beserta Stupa Induk.
b. Patung
Di dalam bangunan Budha terdapat patung – patung Budha berjumlah 504 buah diantaranya sebagai berikut:
Patung Budha yang terdapat pada relung – relung : 432 Buah
Sedangkan pada teras – teras I, II, III berjumlah : 72 Buah
Jumlah : 504 Buah
Agar lebih jelas susunan – susunan patung Budha pada Budha sebagai berikut:
1. Langkah I Teradapat : 104 Patung Budha
2. Langkah II Terdapat : 104 Patung Budha
3. Langkah III Terdapat : 88 Patung Budha
4. Langkah IV Terdapat : 22 Patung Budha
5. Langkah V Terdapat : 64 Patung Budha
6. Teras Bundar I Terdapat : 32 Patung Budha
7. Teras Bundar II Terdapat : 24 Patung Budha
8. Teras Bundar III Terdapat : 16 Patung Budha
Jumlah : 504 Patung Budha
Sekilas patung Budha itu tampak serupa semuanya namun sesunguhnya ada juga perbedaannya perbedaan yang sangat jelas dan juga yang membedakan satu sama lainya adalah dalam sikap tangannyayang di sebut Mudra dan merupakan ciri khas untuk setiap patung sikap tangan patung Budha di Candi Borobudur ada 6 macam hanya saja karena macam oleh karena macam mudra yang di miliki menghadap semua arah (Timur Selatan Barat dan Utara) pada bagian rupadhatu langkah V maupun pada bagian arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud yang sama maka jumlah mudra yang pokok ada 5 kelima mudra it adalah Bhumispara – Mudra Wara – Mudra, Dhayana – Mudra, Abhaya – Mudra, Dharma Cakra – Mudra.
c. Patung Singa
Pada Candi Borobudur selain patung Budha juga terdapat patung singa jumlah patung singa seharusnya tidak kurang dari 32 buah akan tetapi bila di hitung sekarang jumlahnya berkurang karena berbagai sebab satu satunya patung singa besar berada pada halaman sisi Barat yang juga menghadap ke barat seolah – olah sedang menjaga bangunan Candi Borobudur yang megah dan anggun.
d. Stupa
- Stupa Induk
Berukuran lebih besar dari stupa – stupa lainya dan terletak di tengah – tengah paling atas yang merupakan mhkota dari seluruh monumen bangunan Candi Borobudur, garis tengah Stupa induk + 9.90 M puncak yang tertinggi di sebut pinakel / Yasti Cikkara, terletak di atas Padmaganda dan juga trletak di garis Harmika.
- Stupa Berlubang / Terawang
Yang dimaksud stupa berlubang atau terawang ialah Stupa yang terdapat pada teras I, II, III di mana di dalamnya terdapat patung Budha.
Di Candi Borobudur jumlah stupa berlubang seluruhnya 72 Buah, stupa – stupa tersebut berada pada tingkat Arupadhatu
Teras I terdapat 32 Stupa
Teras II terdapat 24 Stupa
Teras III terdapat 16 Stupa
Jumlah 72 Stupa
- Stupa kecil
Stupa kecil berbentuk hampir sama dengan stupa yang lainya hanya saja perbedaannya yang menojol adalah ukurannya yang lebih kecil dari stupa yang lainya, seolah – olah menjadi hiasan bangunan Candi Borobudur keberadaanstupa ini menempati relung – relung pada langkah ke II saampai langkah ke V sedangkan pada langkah I berupa Keben dan sebagian berupa Stupa kecil jumlah stupa kecil ada 1472 Buah.
e. Relief
Relief Karmawibhangga bagian yang terlihat sekarang ini tidaklah sebagaimana bangunan aslinya karena alasan teknis maupun yang lainya maka candi di buatkan batu tambahan sebagai penutup
Relief Karmawibhanga yang terdapat pada bagian Kamadhatu berjumlah 160 buah pigura yang secara jelas menggambarkan tentang hawa nafsu dan kenikmatan serta akibat perbuatan dosa dan juga hukuman yang di terima tetapi ada juga perbuatan baik serta pahalanya.
Yang di perlihatkan pada relief – relief itu antara lain:
- Gambaran mengenai mulut – mulut yang usil orang yang suka mabuk – mabukan perbuatan – perbuatan lain yang mengakibatkan suatu dosa.
- Perbuatan terpuji, gambaran mengenai orang yang suka menolong Ziarah ke tempat suci bermurah hati kepada sesama dan lain – lain yang mengakibatkan orang mendapat ketentraman hidup dan dapat pahala
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua masalah tentang sejarah brdirinya Candi Borobudur ini ternyata dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejarah Candi Borobudur
Waktu didirikannya Candi Borobudur tidaklah dapat diketahui dengan pasti namun suatu perkiraan dapat di peroleh dengan tulisan singkat yang di pahatkan di atas pigura relief kaki asli Candi Borobudur ( Karwa Wibhangga ) menunjukan huruf sejenis dengan yang di dapatkan dari prasati di akhir abad ke – 8 sampai awal abad ke – 9 dari bukti – bukti tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Candi Borobudur di dirikan sekitar tahun 800 M.
2. Letak dan Lokasi Candi Borobudur Candi
Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang yang letaknya sebelah selatan + 15 km sebelah selatan kota Magelang dataran kedu yang berbukit hampir seluruhnya di kelilingi pegunungan, pegunungan yang mengelilingi Candi Borobudur di antaranya di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan Gunung Merapi Barat, Laut Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
3. Nama Dan Arti Candi Borobudur
Nama Borobudur berasal dari gabungan kata Boro dan Budur, Boro berasal dari kata Sangsekerta berarti “ Vihara” yang berarti komplek Candi dan Bihara atau juga asrama ( Menurut Purwacaraka Dan Stuten Herm ) sedangkan Budur dalam bahasa Bali “ Bedudur” yang artinya di Atas. Jadi nama Borobudur berarti asrama atau bahasa ( Komplek Candi ) yang terletak di atas bukit
B. Saran – Saran
Dari pembuatan karya tulis ini penulis akan menyajikan beberapa saran diantaranya:
1. kita sebagai generasi muda harus menadi generasi penerus bangsa dengan cara giat belajar dan berlatih supaya menjadi siswa – siswi yang terampil dan bertaqwa
2. Kita sebagai warga negara harus menjaga dan melestarikan bdaya bangsa dengan memelihara tempat – tempat bersejarah sebagai peninggalan nenek moyang kita
3. penulis berharap dengan berkembangnya kebudayaan barat di harapkan pada rekan generasi muda mampu memilih dan menilia budaya yang masuk dan berusaha mempertahankan kebudayaan bangsa sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. MoerTjipto, Drs Borobudur, Pawon Dan Mendut, Kanisus Yogyakarta 1993
2. Soediman, Drs Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia Gramedia Yogyakarta, 1980

Asal Usul Bendera Merah Putih


Asal Usul Bendera Merah Putih

“ Berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira, di seluruh pantai Indonesia, kau tetap pujaan bangsa, siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …….Sang Merah-Putih yang perwira, berkibarlah selama-lamanya ”.

Lagu diatas diciptakan oleh Ibu Soed tentang bendera Merah-Putih, bendera Indonesia. Bendera Merah-Putih ? Sebenarnya hanya terdiri atas dua potong kain saja yang terdiri dari warna Merah berada diatas dan warna Putih berada dibawah yang kemudian dijahit menjadi satu. Namun kedua potong kain inilah yang menjadi lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas Indonesia, serta menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku yang Bhinneka Tunggal Ika.

Sang Merah-Putih selalu berkibar dan disambut dengan sangat syahdu dan penuh perasaan hormat pada setiap hari Nasional maupun hari-hari kemenangan dalam bidang prestasi, serta upacara lainnya. Bendera kebangsaan bukan hanya sebagai lambang ataupun ciri khas bangsa Indonesia, tetapi dari pada itu Sang Merah-Putih telah menjadi bagian dari bagian setiap insan Indonesia. Dia telah mendarah daging, menjadi sumsum yang mengalir selamanya dalam diri rakyat Indonesia.

Dua potong kain Dwi warna yang kita kenal sekarang sebagai Bendera kebangsaan Bangsa Indonesia ini telah di kukuhkan sebagai lambang kebesaran bangsa Indonesia melalui Pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bendera kebangsaan Indonesia adalah Sang Merah-Putih, serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958 tentang Peraturan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Merah yang bermakna berani karena benar dan Putih yang bermakna suci. Pengorbanan yang besar telah ditorehkan rakyat Indonesia untuk Sang Merah-Putih ! Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah kebangsaan sejak 17 Agustus 1945 Sang Merah-Putih berkibar diseluruh tanah air dan tanggal 29 September 1950 berkibar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Berdasarkan kajian seorang sejarahwan Prof. H. Muhammad Yamin, jejak sejarah Merah-Putih di mulai sejak 6.000 tahun yang lalu, di mana bukti sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah melakukan pemujaan terhadap Matahari dan Bulan. Matahari di wakili warna Merah, dan Bulan di lambangkan dengan warna Putih.

Kajian Prof. H. Muhammad Yamin menunjukkan cukup banyak bukti untuk membuktikan teorinya. Bila teorinya tentang pemujaan Matahari dan Rembulan yang kemudian menciptakan derivate warna Merah dan Putih sejak 6.000 tahun yang lalu merupakan teori yang universal, setidaknya beliau mempunyai bukti yang membumi mengenai kehadiran Merah-Putih di bumi Indonesia.

Adanya ukiran pada dinding Candi Borobudur (dibangun pada awal abad ke- 9) menjadi salah-satu bukti awal beliau, di mana pada ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang, di duga melambangkan warna Merah dan Putih. Keterangan untuk ukiran itu menyebutnya sebagai Pataka atau Bendera. Catatan-catatan lain sekitar Borobudur juga sering menyebut bunga Tunjung Mabang (Merah) dan Tunjung Maputeh (Putih). Ukiran yang sama juga tampak di Candi Mendut, tidak jauh Candi Borobudur, yang kurang lebih bertarikh sama.

Dari bukti ukiran Candi Borobudur ini, Prof. H. Muhammad Yamin dengan rajin mengumpulkan banyak bukti sejarah lain yang dapat di kaitkan dengan pemujaan terhadap lambang, warna Merah dan Putih di setiap celah budaya Nusantara. Di bekas kerajaan Sriwijaya tampak pula berbagai peninggalan dengan unsur-unsur warna Merah dan Putih.

Antonio Pigafetta, seorang pencatat dalam pelayaran Marcopolo di abad 16, dalam kamus kecilnya yang berisi 426 kata-kata Indonesia, memasukan entri Cain Mera dan Cain Pute, yang di terjemahkan sebagai Al Panno Rosso et Al Panno Bianco. Bila tidak sering melihat kombinasi Merah-Putih sebagai satu kesatuan, mungkinkah Pigafetta memasukkannya sebagai sebuah entri ?

Empat warna utama dalam mitologi jawa, yakni Merah sebagai lambang amarah, Putih sebagai lambang Mutmainnah, Kuning sebagai lambang Supiah, dan Hitam sebagai lambang Luwainnah. Dua keraton di Solo, misalnya menggunakan lambang-lambang warna itu sebagai benderanya. Keraton Susuhunan Paku Buwono memakai symbol Timur – Selatan yang di lambangkan dengan warna Gula-Kelapa atau Merah-Putih. Sedangkan Keraton Mangku Negoro memakai symbol Barat-Utara yang dilambangkan dengan warna Hijau-Kuning. Getaran warna Hijau sama dengan warna Hitam lambang Luwainnah.
Warna Merah dan Putih tidak hanya di pakai sebagai lambang penting oleh kerajaan Mataram. Pada abad ke-16, dua bilah cincin berpermata Merah dan Putih di wariskan oleh Raja Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat. Di kerajaan Mataran sendiri, umbul-umbul Gula-Kelapa yang berwana Merah-Putih di wariskan oleh Ki Ageng Tarub dan terus di muliakan oleh Sultan Agung serta Raja-Raja yang meneruskannya.

Perlawanan rakyat yang di pimpin oleh Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 di mulai dengan barisan rakyat yang mengibarkan umbul-umbul Merah-Putih berkibar di mana-mana. Rakyat berkeyakinan bahwa Merah-Putih adalah pelindung mereka dari segala marabahaya. Pada abad ke-19 itu pula, para pemimpin dan pengikut gerakkan Paderi di Sumatera Barat banyak yang mengenakan sorban berwarna Merah dengan jubah berwarna Putih, untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.

Menurut catatan Prof. H. Muhammad Yamin di Sulawesi Selatan Raja Bone yang bernama Karrampeluwa pada abad ke-15 juga sudah mengibarkan umbul-umbul berwarna Merah dan Putih di kiri kanannya. Umbul-umbul Merah dan Putih itu di sebut sebagai Tjallae ri dan Tjallae ri abeo. Pada tahun 1920 di Negeri Belanda Bendera Merah-Putih di kibarkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) untuk menyatakan cita-cita Indonesia Merdeka. Secara sederhana ketika itu dinyatakan bahwa Merah berarti berani, sedang Putih melambangkan kesucian. Artinya keberanian di atas kesucian.

Partai Nasional Indonesia yang di dirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1927 juga menggunakan lambang bendera Merah-Putih dan gambar kepala banteng ditengahnya. Sebelumnya, bendera Merah-Putih dengan gambar kepala kerbau pernah pula di pakai oleh Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda tahun 1922, seperti terlihat pada salah satu dokumen yang di simpan oleh Dr. Mohammad Hatta.
Tidak heran bila pada tanggal 28 Oktober 1928 bendera Merah-Putih di kibarakan oleh para pemuda sebagai Bendera Kebangsaan. Semula bendera Merah-Putih di rencanakan akan memakai gambar Garuda Rajawali terbang di tengahnya. Tetapi, kemudian di putuskan untuk memakai lambang burung Garuda Rajawali itu secara terpisah. Kelak lambang burung Garuda Rajawali inipun di bakukan sebagai lambang Negara, lengkap dengan Amsal Tantular yang tertera pada pita di cengkraman Garuda yang berbunyi : Bhinneka Tunggal Ika. 

Di penghujung bulan Desember 1941 para pemuka kebangsaan di daerah Gorontalo Sulawesi, berniat mengadakan kongres, namun berhubung tersiar berita besar dari radio dan surat kabar mengenai bala tentara Jepang telah menghancurkan pangkalan Amerika di Pearl Harbour wilayah Amerika Serikat. Di sinilah awal dari lembaran hitam kawasan asia dengan meletusnya perang dunia ke- II.

Suasana keruh yang di timbulkan dari serangan tentara Jepang tesebut juga berimbas ketanah air, di karenakan Indonesia adalah tanah jajahan Belanda. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi Utara tidak luput dari suasana keruh tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1942 bertempat di Minahasa balatentara Jepang telah mendarat, namun sebelum tentara Jepang berhasil menerobos daerah Gorontalo, pada tanggal 23 Januari 1942, para pemuka setempat telah memproklamirkan kemerdekaan. Rakyat Indonesia telah bangkit di Sulawesi Utara! Sang Merah-Putih berkibar, rakyat bergembira, Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalun setiap hari dengan kerasnya. Setiap rumah maupun kantor pemerintah mengibarkan Sang Dwiwarna. Akibat dari perebutan kekuasaan yang diprakarsai oleh tokoh setempatya yakni Kusno Dhanupoyo dan Nani Wartabone, maka di daerah lain di Sulawesi terjadi serentetan perebutan kekuasaan lainnya. Hari itu berkumandanglah lagu Kebangsaan Indonesia Raya di bawah pimpinan Nani Wartabone di alun-alun. Suaranya parau yang disebabkan oleh tangis haru. Kemerdekaan yang selama ini dirindukan oleh bangsa Indonesia, ternyata telah dapat dirasakan oleh mereka yang berada di Gorontalo.

Pada bulan Pebruari 1942 sepuluh hari setelah pendaratan tentara Jepang di Sulawesi Selatan di tepi kota Sungguminahasa, seorang anak mengibarkan Dwiwarna berdampingan dengan bendera Jepang.
Masyarakat setempat tertegun melihat ada dua bendera kecil yang berkibar di sebuah tiang bambu yang sederhana dengan tali rami sepanjang satu setengan meter. Bendera apakah itu ? Tanya orang-orang yang melihat bendera kecil tersebut . Pengibar cilik yang saat itu baru berumur tujuh tahun menjawab dengan bangga : “ Oh Merah-Putih itu bendera kita, Indonesia ! Yang pakai bola merah itu Bendera Jepang” mereka yang menyaksikan masih belum percaya sampai ayah anak itu berujar : ”benarlah kata anak saya ini, saudara-saudara. Yang disebelah itu bendera sendiri! Belanda melarang kita mengibarkan, selain Bendera Merah, Putih, Biru ! Tetapi sekarang kita boleh mengibarkannya kembali ……… “ Dan penduduk kampung yang terpencil jauh dari Kota Ujungpandang (Makasar) itu merasa gembira. Pada hari itu setiap rumah penduduk mengibarkan Merah-Putih dari kertas minyak.

Tetapi rasa gembira itu tidak berlangsung lama, seminggu kemudian muncul sebuah mobil hitam berpenumpang seorang opsir Jepang dari Angkatan Laut Kerajaan Jepang bernama Kolonel Yamagata, tujuan Yamagata datang adalah memerintah ayah dari anak tadi untuk segera kembali bekerja sebagai dokter di Makasar.

Siapa berani melawan perintah penguasa Jepang? Mata Yamagata semakin menyipit dengan dahi berkerut tatkala hendak meninggalkan rumah di pengungsian, matanya menatap dua bendera yang berkibar “Siapa yang mengibarkan Merah-Putih ini”?, “Saya tuan” teriak anak itu gembira.”Sekarang tarik lepas Merah-Putih itu, Cuma Hinomaru yang boleh berkibar”, ujar Yamagata dengan kasar. Anak tersebut menarik tali rami dengan keras sehingga Merah-Putih melayang dan jatuh di comberan dekat mulut perigi. Merah-Putih menjadi kotor dan berlumpur sehingga tangis anak tersebut meledak. Kolonel Yamagata mendengus pergi, dekat perigi dia berhenti, serta menginjak kain Merah-Putih dengan sepatu bootnya. Kain Dwiwarna tersebut tidak berwarna lagi kecuali berwarna Hitam legam. Anak itu tidak main sakit hati melihat tersebut, puluhan pasang mata juga ikut merasa sakit hati dan menangis. Dalam sakit hati inilah, anak tersebut menghujam tiang bendera satunya, sehingga Hinomaru jatuh ke tanah, lalu dinjak-injaknya sampai lumat.

Sejak saat itu tidak satu pun Merah-Putih berkibar di rumah-rumah penduduk, namun kejadian tersebut telah menumbuhkan semangat kebangsaan dalam dada setiap orang. Anak kecil itu terus tumbuh dan dia adalah Purnawan Tjondronegoro. Pada tanggal 14 Pebruari 1945 meletuslah pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar. Di bawah pimpinan Shodancho Supriyadi dan Shodancho Muradi. Pada jam 3 pagi, setelah amunisi dibagikan Supriyadi mulai memberikan komandonya agar setiap prajurit mulai menembakkan sasarannya ketempat serdadu dan opsir Jepang tinggal, maka terjadilah pertempuran di pagi buta itu dengan hebatnya.

Seorang Prajurit PETA berpangkat Shodancho bernama Parto Harjono berhasil mengibarkan Bendera Merah-Putih ketiang bendera di dalam halaman Daidan. Sang dwiwarna itu berkibar megah, menggantikan si bola merah Hinomaru, bendera Jepang yang setiap hari berkibar diatas tiang itu. Di bawah lambaian Merah-Putih inilah, para pemuda Indonesia yang terdiri dari Prajurit PETA menyerang kedudukan Jepang, terdengar teriak serta hiruk pikuk aba-aba dalam bahasa Jepang yang dikumandangkan dari mulut Shodancho Supriyadi dan Muradi serta beberapa opsir PETA lainnya. Hari itu tercatat sebuah kegagahan luar biasa yang lahir dari para prajurit PETA di Blitar karena membela kebenaran dan kemerdekaan.

“Janji” Jepang untuk memerdekakan Indonesia yang di nyatakan sejak bulan September 1944, ternyata hanya janji palsu, sehingga titik puncak perjuang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan terjadi pada pertengahan tahun 1945, Bung Karno yang sejak semula memang tidak sepenuhnya mempercayai Jepang, tetap berusaha mempertahankan koridor kewaspadaan dan pengamanan secara hati-hati agar tidak membuat Jepang curiga, serta tetap menjalankan perannya sebagai ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang memang di fasilitasi Jepang berupa gedung di jalan Pejambon Jakarta Pusat untuk mengadakan pertemuan.

Sebagian pemuda pejuang yang tidak memahami jalan pikiran Bung Karno, sejak tanggal 14 Agustus 1945 memberi tekanan kepada beliau untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah mendengar berita kekalahan Jepang yang mulai tercium di Jakarta pada minggu kedua bulan Agustus 1945. Namun, alasan yang paling utama adalah agar jangan sampai di dahului pasukan sekutu untuk melucuti senjata Jepang dan mengambil alih kekuasaan.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, beberapa pemuda mendatangi Bung Karno dan kemudian membawa pergi ke Rengasdengklok. Ibu Fatmawati dan Guntur yang masih bayi juga di bawa serta. Beragam opini keluar atas kejadian tersebut, menurut biografi Bung Karno yang di tulis oleh Cindy Adams, peristiwa ini di sebut sebaga penculikan oleh para pemuda revolusioner, sedangkan ibu Fatmawati menyebut hal ini sebagai hijrah. Adam Malik mengistilahkan” Bung Karno dan Bung Hatta di singkirkan ke Rengasdeklok”. Tetapi bagi para pemuda, tindakkan itu dilakukan agar Bung Karno terbebas dari tekanan politik dan memahami realitas perjuangan serta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini terjadi di sebabkan oleh sikap Bung Karno yang tetap memilih jalan negoisasi yang selama ini telah di rintisnya bersama pemimpin bangsa.

Sukarni, salah seorang pemuda yang ikut menjemput Bung Karno, ia adalah seorang yang dianggap misterius, bila mengusulkan sesuatu selalu tampak tergesa-gesa, dan agak memaksa agar usulanya diterima, ia juga kurang memikirkan persiapan untuk tindakan-tindakannya. Bung Karno dibawa ke Rengasdengklok sebuah desa di dekat Karawang.

Di Rengasdengklok, Bung Karno dan Bung Hatta di tempatkan di Rumah Djiauw Kie Siong yang di pinjam oleh para pemuda, tidak jauh dari Markas PETA. Rumah itu hampir tidak terlihat karena terlindung oleh pohon-pohon besar, dan terletak persis disisi sungai Citarum.

Di luar para pemuda telah meminta Wedana menyiapkan upacara di halaman, dan mengumpulkan rakyat di depan Markas PETA. Upacara yang di persiapkan para pemuda itu digelar untuk menjadi panggung Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Siang harinya dilakukan upacara pengibaran bendera Merah-Putih, di pimpin oleh Wedana Soedjono. Tetapi, karena upacara itu hanya di hadiri oleh sedikit orang, para pemuda mengajak rakyat berjalan menuju alun-alun di depan kawedanaan. Masyarakat yang berkumpul di alun-alun menjadi lebih banyak di pimpin oleh Soeradji, Komandan PETA, bendera Merah-Putih dikibarkan di sana sekali lagi. Para pemuda bermaksud “menahan” Bung Karno di Rengasdengklok malam itu “penahanan” itu hendak dilakukan karena Bung Karno tetap tidak bersedia memproklamasikan kemerdekaan di Rengasdengklok.

Apabila hal itu terjadi, sejarah Indonesia barangkali akan mencatat hal lain, di sinilah peran Ibu Fatmawati harus di perhitungkan dalam sejarah perjuangan. Beliau menunjukan kondisi bayi Guntur yang sudah tampak lelah. Dengan tutur lembut dan halus, Ibu Fatmawati meminta pengertian pemuda pejuang untuk mengizinkan mereka kembali ke Jakarta malam hari itu juga.

Pada saat tiba kembali di Jakarta, lewat tengah malam Bung Karno mengundang pertemuan di rumah laksamana Maeda, Panglima Besar Angkatan Laut Jepang di Jawa. Sebelumnya Bung Karno, Bung Hatta dan Laksamana Maeda telah mengadakan pertemuan dengan Jenderal Yamamoto, Kepala Pemerintah Militer Jepang.

Pada pertemuan dini hari di rumah Maeda tersebut, naskah proklamasi dirumuskan. Beberapa anggota PPKI hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain. Mr. Achmad Soebarjo Radjiman, Dr Sam Ratulangi, Prof Soepomo, Mr Latuharharry, Dr Boentaran, Mr Iwa Kusumasumantri, sedangkan dari pemuda hadir antara lain, Chaerul Saleh, BM Diah, dan Sukarni. Bung Karno sudah menyiapkan naskah ringkas yang ditulis tangan. Terjadi perdebatan seru, ada yang mengatakan naskah itu tidak revolusioner. Adapula yang mengatakan bahwa pernyataan itu sangat abstrak dan tidak ada isinya.

Mengingat bahwa pekerjaan ini harus selesai sebelum fajar menyingsing. Mereka kemudian menyepakati naskah yang diusulkan Bung Karno dengan beberapa perubahan ringan. Naskah tersebut lalu diketik oleh Sajuti Melik, seorang pemuda pejuang yang baru saja di bebaskan oleh kempetai dari tahanan di Semarang. Sajuti pada saat itu adalah suami dari SK Trimurti. Nama Melik hanyalah panggilan, karena ketika itu ada dua yang bernama Sajuti. Untuk membedakan, satu di panggil Sajuti Melok, yang lain Sajuti Melik.

Suasana malam menegangkan tampak di beberapa tempat di Jakarta, dimana para pemuda pejuang sedang berkumpul. Mereka semua seperti merasakan Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Kelahiran Republik Indonesia sudah semakin dekat. Di Kramat, Kebon Sirih, Cikini, dan di tempat-tempat lain, para pemuda pejuang berkumpul dan bersiap. Merdeka atau Mati!

Keesokan paginya, 17 Agustus 1945, beberapa pemimpin Bangsa Indonesia berkumpul di rumah Bung Karno. Tidak salah lagi! Bung Karno sebagai pemimpin Bangsa Indonesia akan menyatakan kedunia luas bahwa Republik Indonesia telah lahir. Bangsa Indonesia telah Merdeka! Ia bergabung dengan tamu-tamunya, mengenakan setelan jas putih dari bahan drill dan mengenakan peci. Bung Hatta pun mengenakan setelan jas serupa, tanpa peci. SK Trimurti yang hadir disitu, diminta untuk ikut mengibarkan bendera sebagai representasi perempuan dalam perjuangan Bangsa. Akan tetapi dia menolak karena tidak cukup berjasa untuk memperoleh kehormatan tersebut. Ia hanya membawa bendera yang masih terlipat untuk diserahkan kepada pengibar bendera, setelah itu beliau berdiri disamping Ibu Fatmawati.
Bendera Merah-Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati kemudian diikatkan ke tali pengerek. Tiang bambu dihalaman rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 kini Jalan Proklamasi No. 56 itu sebetulnya terlalu pendek untuk bendera yang berukuran 2x3 meter itu. Pemuda Suhud lalu memegang bendera tersebut, lalu dikerek oleh Pemuda Latief Hendraningrat yang berseragam PETA.

Semua yang hadir mengiringi kibaran Merah-Putih dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Tak ada yang memimpin lagu, sehingga suara yang dihasilkan terdengar sumbang. Suara sumbang juga disebabkan emosi yang meluap dari para hadirin. Semua terhenyak memandang Merah-Putih telah berkibar gagah dipuncak tiang bambu. Dalam suasana yang mencekam itu, tepat pukul 10 pagi. Bung Karno mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari saku jasnya, dan kemudian membaca naskah pendek yang telah diketik dan dibubuhi beberapa coretan.

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain, diselenggarakan dengan cara seksama, dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya.

Djakarta, hari 17 bulan 8 tahun 1945
Atas nama Bangsa Indonesia

Soekarno – Hatta

MERDEKA!!!

Bahasa Arab, Asal-Usul Bahasa di Dunia


Bahasa Arab, Asal-Usul Bahasa di Dunia

Bahasa Arab dan Inggris adalah bahasa dunia. Keduanya memiliki akar sejarah yang amat panjang dan warisan peradaban yang paling banyak, terutama Bahasa Arab. Hampir dua per tiga penduduk dunia menggunakan DUA bahasa Internasional ini. Oleh karena itu, tidak salah jika para cendekiawan mengatakan, “Dengan menguasai Bahasa Arab-Inggris, kita akan menguasai dua kehidupan dunia.” Literatur budaya barat dan budaya ISLAM.
Gejala kebahasaan itu kemudian ditangkap para peminat “pasar bahasa”, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, politik, ekonomi, dan bahkan penerbitan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah bahasa, laboratorium bahasa dan berbagai macam kegiatan kebahasaan, termasuk di antaranya lomba pidato bahasa asing di Madrasah dan sekolah-sekolah.
Sejak Bahasa Arab yang tertuang dalam Al-Qur’an, didengungkan hingga kini, semua pengamat, baik Barat maupun orang muslim Arab menganggapnya sebagai bahasa yang memiliki standar ketinggian dan keelokan linguistik yang tiada taranya (thesupreme of linguistic excellence and beauty).
Hal ini, tentu saja berdampak pada munculnya superioritas sastra dan filsafat bahkan pada sains seperti ilmu matematika, kedokteran, ilmu bumi, dan tata Bahasa Arab sendiri pada masa-masa kejayaan Islam setelahnya. Keunggulan bahasa Arab ada pada kekayaannya, pengertian-pengertian niskala (abstrak) dan ketepatan makna (semantic prescision) serta kemungkinan pembentukan kata turunan (derivation).
Seorang dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk mengkaji beberapa dokumentasi ilmiah, literatur, manuskrip, ensiklopedi, dan lain sebagainya untuk mencapai hasil yang memuaskan. Dia adalah Prof. Dr. Tahiyya ‘Abdul ‘Aziz yang mengarang kitab berbahasa Inggris “Arabic Language the Origin of Languages” (Bahasa Arab, Asal-usul Bahasa-bahasa di Dunia).
Di dalam kitab tersebut terdapat beberapa artikel dan esai, serta sekaligus kata-kata yang berpadanan (lafazh musytarak) seperti :
[1] antara Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,
[2] antara Bahasa Arab dan Bahasa Latin,
[3] antara Bahasa Arab dan Bahasa Hiroglypa,
[4] antara Bahasa Arab dan Bahasa Jerman,
[5] antara Bahasa Arab dan Bahasa Anglo-Saxon,
[6] antara Bahasa Arab dan Bahasa Perancis,
[7] antara Bahasa Arab dan Bahasa Eropa Kuno,
[8] antara Bahasa Arab dan Bahasa Yunani,
[9] antara Bahasa Arab dan Bahasa Itali,
[10] antara Bahasa Arab dan Bahasa Sansekerta, dan lain sebagainya.
Menurut Prof. Dr. Tahiyya ‘Abdul ‘Aziz, bahasa Arab merupakan asal-usul dari semua bahasa di dunia, disebabkan antara lain :

[1] Kosakata Bahasa Arab sangat luas dan kaya

Sedangkan bahasa-bahasa lainnya miskin akan kosakata. Bahasa Latin memiliki tujuh ratus akar kata dan Bahasa Saxonia mempunyai seribu akar kata saja. Sementara Bahasa Arab memilki enam belas ribu akar kata.
Bahasa Arab luas dalam kata kerja, asal kata, dan susunan kalimatnya. Contohnya kata sifat “good” dalam Bahasa Inggris atau “jayyid” dalam Bahasa Arab, di mana keduanya memilki kesamaan dalam pengucapannya, yang artinya adalah bagus. Akan tetapi kita akan mendapatkan kata lain yang merupakan derivasi (penyimpangan, yang berbeda) dari kata “jayyid” tersebut, yaitu Al-Jaud, Al-Jaudah, Al-Ijadah, Yujiidu, Yajudu, Jawaad, Jiyaad, dan lain sebagainya. Akan tetapi kita tidak menemukan kosakata lain yang berasal dari kata “good”.
Bahasa Arab kaya akan sinonim (persamaan arti kata).
Misal Al-Asad yang artinya singa, mempunyai sinonim yang banyak sekali. Di antaranya adalah Al-Laits, Al-Ghadanfar, As-Sabu’u, Ar-Ri’baal, Al-Hizbar, Adh-Dhargaam, Ad-Dhaigam, Al-Wardu, Al-Qaswar, dan lain sebagainya.

[2] Tiap Huruf dalam Bahasa Arab mempunyai simbol, tanda, dan arti tersendiri

Contohnya adalah huruf ha’, di mana ia mengandung arti yang berkonotasi kepada sesuatu yang tajam dan panas, seperti Al-Hummaa (penyakit panas, demam), Al-Haraara (panas), Al-Hurr (yang bebas dan merdeka), Al-Hubb (kecintaan), Al-Hariiq (kebakaran), Al-Hiqd (kedengkian), Al-Hamiim (teman akrab), Al-Hamzhal (buah parai), Al-Hirriif (yang pedas), Al-Haraam (yang dilarang), Al-Hariir (kain sutera), Al-Hanaan (kasih sayang), Al-Haadd (yang tajam), Al-Haqq (kebenaran) dan lain-lain.
Contoh lainnya adalah huruf kha’ mempunyai konotasi kepada segala sesuatu yang tidak disukai atau dihindari, seperti dalam kata; Al-Khauf (ketakutan), Al-Khizyu (kehinaan), Al-Khajal (malu), Al-Khiyaanah (pengkhianatan), Al-Khalaa’ah (pencabulan), Al-Khinzir (babi), Al-Khizlaan (kekecewaan), dan lain sebagainya.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) bahwa yang merasa kekurangan akan meminta bantuan kepada yang kelebihan. Demikianlah analoginya, bahwa bahasa lain yang merasa kekurangan akan “mengadopsi” Bahasa Arab yang kaya dengan kosa katanya, serta menganggapnya sebagai bahasa induk bagi semua bahasa di dunia.
Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, (Al-Qur’an Al-Karim Surah Fushshilat [41] : ayat 3)
Wallahu a’lam bish-showab wa ‘afwu minkum

Asal-Usul Batik

Asal-Usul Batik

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "nitik". Kata batik sendiri meruju pada teknik pembuatan corak Motif Batik - menggunakan canting atau cap - dan pencelupan kaindengan menggunakan bahan perintang warna Motif Batik pada Baju Batik "malam" (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing.

Jadi kain Baju Batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, wol dan tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester). Kain yang pembuatan corak Batik Solo dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik ini dikenal dengan kain bercorak batik - biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak (print) - bukan kain batik. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budayaIndonesia (khususnya Jawa) sejak lama. 

Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik Busana Batik dan Blus batik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik Batik Solo adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Ragam corak dan warna Desain Busana Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak Busana Batik dan Blus batik hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orangTionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. 

Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Teknik Desain Busana Batik dan membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul Batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Asal usul bahasa Indonesia



Asal usul bahasa Indonesia

BAHASA adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas kultural suatu bangsa.Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa Melanesia melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besar dominasi ‘bahasa Indonesia’. Sejauh mana dominasi itu? Apa dampaknya? Bagaimana proses historisnya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting sebagai upaya melestarikan identitas bangsa Melanesia, yang selama ini ‘lebur’ dalam “NKRI” dan dalam banyak hal justru mengalami Jawanisasi. Ini kontradiktif dengan gagasan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Dewasa ini, bangsa Melanesia menggunakan bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks maupun lisan, disekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak dan elektronik.
Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua. Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini seiring dengan kebijakan diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.
Apabila menenggok lebih jauh ke masa sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Diluar itu, wilayah ini cukup terisolir dari koloni Belanda di sebelah barat, kecuali wilayah pesisir utara yang menjalin hubungan dagang tradisional dengan Maluku. Selebihnya hanya bayang-bayang penjara besar - Boven Digul, di tengah sebagian besar masyarakat yang masih hidup di zaman batu (Benedict Andersson: 2002)
Ini berarti bangsa Melanesia, tidak terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia dipermaklumkan sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam peristiwa tersebut, kedua, saat bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI.
Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama mencanangkan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata "Indonesia" berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau". Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia". atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, "...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia".
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

asal usul betawi ..

Suku Betawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Betawi
Jumlah populasi
3 juta (sensus 2000)
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jakarta: 2.3 juta
Bahasa
Betawi, Indonesia
Agama
Islam dan Kristen (minoritas)
Kelompok etnis terdekat
Banten, Jawa, Sunda, Melayu
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayudan Tionghoa.

Daftar isi

 [sembunyikan]

[sunting]Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

[sunting]Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon danBanda, dan orang Melayu.

[sunting]Suku Betawi

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

[sunting]Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

[sunting]Seni dan kebudayaan

Budaya Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

[sunting]Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

[sunting]Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga adaRebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

[sunting]Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

[sunting]Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

[sunting]Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

[sunting]Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

[sunting]Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

[sunting]Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

[sunting]Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

[sunting]Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.